Rabu, 16 Januari 2013

Menulis, membaca sebagai peradaban bangsa

Dari seluruh kegiatan keseharian manusia, mana yang tidak melibatkan aktivitas membaca dan menulis? Nyaris tidak ada. Jika kita telisik lebih dalam, maka seluruh aktivitas hidup manusia bahkan diilhami oleh membaca dan menulis. Seorang guru harus membaca kurikulum sebelum mengajar, seorang artis harus membaca skenario sebelum berakting, seorang pelajar/mahasiswa harus tekun membaca buku sebelum belajar/ujian. Campur tangan yang niscaya inilah yang kemudian menjadikan membaca (dan menulis) menjadi batu penjuru kehidupan manusia. Dari situasi ini pula lahir produk-produk yang menjadi lambang keagungan kebudayaan manusia: buku, majalah, koran, jurnal, internet—beserta piranti lain yang mengukuhkan eksistensinya: perpustakaan, toko buku, galeri buku, penerbitan. Disebut batu penjuru peradaban, karena membaca merupakan aktivitas dua arah yang prosesnya melibatkan kesatuan fisik manusia sebagai makhluk pilihan dan kesatuan fisik material bumi sebagai piranti pemberi informasi. Seluruh dekorasi kegiatan membaca (meriset, meneliti, pengayaan, dll) kemudian menjadikan aktivitas dua arah ini sebagai proses ulang alik yang menegaskan peran manusia; bahwa manusia adalah pusat legitimasi keberlangsungan aktivitas kekhalifan di muka bumi. Manusia tidak mungkin memberikan peran ini kepada makhluk lain karena hanya manusia yang diberikan kepercayaan oleh Tuhan untuk mengelola material bumi sesuai dengan garis titah-Nya. Maka, garis takdir inilah yang membuat membaca seperti menjadi indera keenam untuk manusia. Seluruh pencapaian martabat kehidupan manusia, tak akan mampu minggat dari takdir ini—betapapun canggihnya pencapaian itu. Kita harus membaca, meski ada televisi yang menyiarkan berita, karena pada hakikatnya menonton teve adalah juga kegiatan membaca (gambar/peristiwa). Secara teknis buku dan media baca cetak lainnya juga tak akan menjadi ‘sepah yang habis manis lalu dibuang’, karena teve tidak mungkin dapat menggantikan sejumlah peran pentingnya. (Belum lagi sifatnya yang mobile, tidak akan tergantikan oleh media elektronik secanggih apa pun. Kita dapat membaca buku di mana saja, tanpa merasa khawatir dibatasi oleh tempat—sekali pun (maaf) di kamar kecil). Pencapaian teknologi komputer pun tak bisa lepas dari peran primordial yang telah digariskan oleh kegiatan membaca dan menulis. Sampai saat ini, teknologi komputer—termasuk internet—masih menjalani fungsi itu; ia menyediakan keyboard yang berfungsi sebagai alat tulis, dan monitor sebagai alat baca. Dari prinsip sederhana ini pula seluruh aktivitas pencapaian teknologi informasi dijalankan; mulai dari me-lay out majalah sampai chatting. Dalam konteks yang sama pula teknologi telekomunikasi menggali inovasi-inovasinya. Hadirnya telepon selular, yang kini telah menjadi alat komunikasi massal, ‘hanya’ merenovasi bentuk alat telekomunikasi telepon rumahan. Ia bahkan tidak mampu mereduksi peran komputerisasi (keyboard dan monitor) yang dilahirkan dari rahim membaca dan menulis. Handphone atau apa pun namanya hanyalah teknologi komputer yang direkonstruksi bentuknya. Ia tidak menawarkan revolusi apapun, kecuali kecantikan aksesoris yang memukau. Pencapaian-pencapaian manusia di bidang teknologi yang lainnya, juga karena anugerah membaca. Seorang Sir Isac Newton tidak mungkin menemukan teori gravitasi bumi tanpa membaca alam di sekitarnya. Begitu juga yang dilakukan para pendahulunya; Copernicus dan Galileo. Secara khusus dan eksplisit Al-Quran menekankan peran sentral iqra dalam kehidupan manusia. Al-Quran menuturkan ayat qawniyah dan ayat qawliyah sebagai piranti pendefinisi eksistensi manusia terhadap Tuhan dan makhluk lainnya. Manusia mengenal Tuhannya karena membaca (melalui Al-Quran dan tafakur terhadap alam); seperti juga ia mengenal makhluk sesamanya (lita’arafu). Menemulis, Semen yang Merekatkan Batu Jika membaca menjadi batu penjuru peradaban manusia, maka menulis adalah semen yang berfungsi merekatkan sekaligus menata batu-batu penjuru peradaban itu. Menulis menjadi aktivitas penting yang membingkai kegiatan membaca menjadi potret kehidupan yang tercatat sebagai peninggalan, kenangan, dan warisan. Bahkan menulis berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara kehidupan satu generasi dan generasi lainnya. Jika hari ini kita bisa dengan mudah membaca kitab Ihya Ulumuddin, itu karena Al-Ghazali menuliskan pikiran-pikirannya. Dan bayangkanlah jika Imam Bukhari tidak menulis kitab Jami’us Shahih. Bahkan, Al-Quran kemudian harus ditulis karena kekhawatiran bahwa para sahabat yang menjadi hafizd makin berkurang karena gugur di medan jihad—dan selanjutnya kita tinggal membacanya dengan mudah. Dalam kegiatan manusia yang paling sederhana pun, menulis menjadi kegiatan penting yang identik dengan sifat kemakhlukan manusia. Kita harus menulis karena khawatir lupa (itulah pentingnya catatan kuliah, catatan pelajaran sekolah, buku utang-piutang, rekening bank, koran, majalah, internet, buku diari, buku memori, surat perjanjian, akte kelahiran, rapor, ijazah, surat wasiat, surat tanah, surat undangan, dll). Coba bayangkan, seandainya seluruh informasi yang tertera dalam buku-buku/surat-surat tersebut hanya kita hafal alias tidak kita tulis? Menulis juga menjadi kegiatan yang dapat memuliakan manusia. Cobalah Anda menjadi wartawan, Anda akan leluasa masuk ke tempat-tempat kejadian sebuah peristiwa. Anda tinggal bilang, “Saya wartawan.” Orang akan memberikan perlakuan yang berbeda jika Anda mengaku sebagai orang biasa saja. Mengapa? Ini karena wartawan bertugas MENULIS peristiwa itu (apa pun nama kegiatannya: meliput, menginvestigasi, laporan pandangan mata). Di tangan wartawan, sebuah peristiwa menjadi awet dan eksis karena ditulis. Coba seandainya peristiwa itu hanya Anda ceritakan lewat mulut, pasti beberapa saat saja orang sudah melupakannya. Epilog Mau tidak mau, kita harus menerima informasi tentang kehidupan ini dari aktivitas membaca dan menulis. Kita mengetahui kehidupan sebelum di dunia, juga karena membaca, begitu pula kehidupan sesudah di dunia. Kita dapat mengembangkan kehidupan kita yang tampak ‘biasa-biasa saja’ menjadi sebuah realitas yang menyentak nurani. Dan itu hanya mungkin jika kita membaca sesuatu yang terlewat dari pandangan mata fisik manusia, kemudian kita menuangkannya menjadi beberapa potong kalimat. Hidup kita pun menjadi penuh warna, karena ternyata dengan membaca kita seperti sedang menyelami samudera kehidupan yang mahaluas. Tentu, orang akan mengetahui bahwa ada sesuatu yang harus kita kerjakan dengan peran kita sebagai manusia, segera setelah mereka membaca sebuah tulisan. Maka menulis menjadi propaganda yang niscaya jika kita ingin mengingatkan, mengajak, menyentuh nurani, begitu banyak orang—tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

I just learn to be great