a
Pendidikan merupakan suatu hal yang paling penting
untuk di perhatikan, Islam merupakan agama yang mewajibkan kita untuk menuntut
ilmu dan mengamalkannya, di dalam dunia pendidikan masih banyak hal-hal yang
bersifat tabu atau belum jelas untuk kita pahami. Islam sangat menjunjung
tinggi nilai-nilai pendidikan oleh Karena itu kita sebagai umat nabi Muhammad
wajib untuk menuntut ilmu dan mengamalkannya sampai akhir hayat kita. Sebagaimana
terkandung didalam al Qur'an bahwa orang-orang yang di beri ilmu penggetahuan
oleh Allah SWT dalam artian mereka itu senang dan ikhlas dalam menuntut ilmu,
itu akan dinaikan beberapa derajat pahalanya :
11. Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu:
"Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah
akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah
kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
QS.
Al-Mujadilah :11
Di Indonesia masih banyak pendidikan yang belum
relevan maksudnya ilmu tersebut ada yang sudah di sampaikan namun tidak
seimbang dan tidak stabil dalam artian si anak didik masih banyak yang belum
mengerti apa yang telah di sampaikan oleh si pengajar ataupun lebih buruk dari
itu masih banyak anak-anak Indonesia yang masih sama sekali belum mengenyam
atau merasakan pendidikan dan masih banyak anak-anak nusantara yang terlantar
dari dunia pendidikan oleh karena itu di Indonesia masih sangat minim dan jauh
dari persaingan prestasi pendidikan di dunia jadi apa yang seharusnya kita
lakukan? Maka dari itu kita wajib mencari dan menuntut ilmu kemudian kita
mengamalkannya kepada orang yang tidak tahu. Dalam hal ini tentu banyak sekali
masalah-masalah pendidikan yang harus diselesaikan secara efektif, hal ini
memicu keterlambatan pemerintah dalam melaksanakan tugasnya yaitu untuk
mencerdaskan bangsa atau untuk memajukan pendidikan di Indonesia menjadi global
atau mendunia, sehingga pendidikan di Indonesia tidak akan terpuruk lagi dan
akan dikenal oleh dunia bahwa pendidikan di Indonesia mempunyai akreditasi yang
bagus di banding Negara lainnya.
b. Tujuan Pembuatan Makalah
Makalah
ini dibuat karena sipenulis ingin memecahkan dan menyelesaikan persoalan
tentang pendidikan yaitu bagaimana cara mengatasi masalah atau problematika
pendidikan secara efektif. Maka dari itu sipenulis ingin membuat makalah
tersebut, selain itu juga sipenulis ingin memberikan bagaimana gambaran
pendidikan yang ada di Indonesia dan menyimak artikel-artikel serta
pendapat-pendapat dari yang lainnya yang untuk kemudian referensi tersebut
menjadi sebuah makalah yang menarik untuk di kaji.
c. Guru Belum Profesional
Ternyata
masih banyak guru yang bekerja tidak profesional. Bahkan ada sejumlah sekolah
memilih meliburkan anak didiknya demi mengikuti rapat. Padahal guru dewasa ini
telah mendapatkan gaji yang berlebih dengan berbagai fasilitasnya. sertifikasi, kendati
belum semua guru. Banyak pihak tidak menampik banyaknya guru yang melakukan
kelalaian. Bahkan dalam hal sertifikasi,
juga tidak menampik adanya permainan oknum guru demi mendapatkan status
sertifikasi.
Profesionalisme
guru pun, katanya, masih terlihat rendah. Hal ini karena kurangnya peranan
pemerintah dalam peningkatan mutu pendidik. “Pemerintah harus menyediakan
anggaran untuk terus meningkatkan mutu pendidik. Dan saya sangat menyayangkan
masih adanya oknum pendidik yang enggan mengajar di ruang kelas, guru haruslah mengajar
dengan baik. Ini salah satu karakteristik indikator guru yang baik.” Kalau ada
yang masih bermalas-malas mengajar, masyarakat berhak menilainya dan memberikan
masukan baik kepada pimpinanya. maupun PGRI sebagai salahsatu lembaga social
control mitra dinas pendidikan. Beberapa factor yang menyebabkan guru belum
professional :
1. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan
Guru Di Indonesia Juga Amat Memprihatinkan. Kebanyakan Guru Belum Memiliki
Profesionalisme Yang Memadai Untuk Menjalankan Tugasnya Sebagaimana Disebut
Dalam Pasal 39 Uu No 20/2003 Yaitu Merencanakan Pembelajaran, Melaksanakan
Pembelajaran, Menilai Hasil Pembelajaran, Melakukan Pembimbingan, Melakukan
Pelatihan, Melakukan Penelitian Dan Melakukan Pengabdian Masyarakat.
Bukan
Itu Saja, Sebagian Guru Di Indonesia Bahkan Dinyatakan Tidak Layak Mengajar.
Persentase Guru Menurut Kelayakan Mengajar Dalam Tahun 2002-2003 Di Berbagai
Satuan Pendidikan Sbb: Untuk Sd Yang Layak Mengajar Hanya 21,07% (Negeri) Dan
28,94% (Swasta), Untuk Smp 54,12% (Negeri) Dan 60,99% (Swasta), Untuk Sma
65,29% (Negeri) Dan 64,73% (Swasta), Serta Untuk Smk Yang Layak Mengajar 55,49%
(Negeri) Dan 58,26% (Swasta).
Kelayakan
Mengajar Itu Jelas Berhubungan Dengan Tingkat Pendidikan Guru Itu Sendiri. Data
Balitbang Depdiknas (1998) Menunjukkan Dari Sekitar 1,2 Juta Guru Sd/Mi Hanya
13,8% Yang Berpendidikan Diploma D2-Kependidikan Ke Atas. Selain Itu, Dari
Sekitar 680.000 Guru Sltp/Mts Baru 38,8% Yang Berpendidikan Diploma
D3-Kependidikan Ke Atas. Di Tingkat Sekolah Menengah, Dari 337.503 Guru, Baru
57,8% Yang Memiliki Pendidikan S1 Ke Atas. Di Tingkat Pendidikan Tinggi, Dari
181.544 Dosen, Baru 18,86% Yang Berpendidikan S2 Ke Atas (3,48% Berpendidikan
S3).
Walaupun
Guru Dan Pengajar Bukan Satu-Satunya Faktor Penentu Keberhasilan Pendidikan
Tetapi, Pengajaran Merupakan Titik Sentral Pendidikan Dan Kualifikasi, Sebagai
Cermin Kualitas, Tenaga Pengajar Memberikan Andil Sangat Besar Pada Kualitas
Pendidikan Yang Menjadi Tanggung Jawabnya. Kualitas Guru Dan Pengajar Yang
Rendah Juga Dipengaruhi Oleh Masih Rendahnya Tingkat Kesejahteraan Guru.
2. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya
kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan
indonesia. Berdasarkan survei fgii (federasi guru independen indonesia) pada
pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar rp
3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru pns per bulan sebesar rp 1,5
juta. Guru bantu rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata rp
10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru
terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain,
memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang
buku/lks, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (republika, 13 juli, 2005).
Dengan
adanya uu guru dan dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (pns) agak
lumayan. Pasal 10 uu itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam
pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan
memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji,
tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang
berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah
khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi,
kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang
muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit
mencapai taraf ideal. Diberitakan pikiran rakyat 9 januari 2006, sebanyak 70
persen dari 403 pts di jawa barat dan banten tidak sanggup untuk menyesuaikan
kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat uu guru dan dosen (pikiran rakyat 9
januari 2006).
Permasalahan
kesejahteraan guru biasanya akan berimplikasi pada kinerja yang dilakukannya
dalam melaksanakan proses pendidikan. Berdasarkan hasil survei dari human
development index (hdi) menunjukkan bahwa sebanyak 60% guru sd, 40% guru sltp,
43% guru smu, dan 34% guru smk belum memenuhi standardisasi mutu pendidikan
nasional. Lebih berbahaya lagi jika dilihat dari hasil temuan yang menunjukkan
17,2% guru di indonesia mengajar bukan pada bidang keahlian mereka.
(toharuddin, oktober 2005).
Guru
sebagai tenaga kependidikan juga memiliki peran yang sentral dalam
penyelenggaraan suatu sistem pendidikan. Sebagai sebuah pekerjaan, tentu dengan
menjadi seorang guru juga diharapkan dapat memperoleh kompensasi yang layak
untuk kebutuhan hidup. Dalam teori motivasi, pemberian reward dan punishment
yang sesuai merupakan perkara yang dapat mempengaruhi kinerja dan mutu dalam
bekerja, termasuk juga perlunya jaminan kesejahteraan bagi para pendidik agar
dapat meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan yang selama ini masih terpuruk.
Dalam hal tunjangan, sudah selayaknya guru mendapatkan tunjangan yang manusiawi
untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya mengingat peranan dari seorang guru
yang begitu besar dalam upaya mencerdaskan suatu generasi.
Kemudian
dalam cara mengatasi masalah-masalah pendidikan secara efektif tersebut banyak
dikemukakan yaitu ketidakmerataannya pendidikan dan
Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan, hal tersebut dapat
dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang
dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang
dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT
sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja
cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%,
dan 15,07% menurut survei yang telah dilakukan.
Masalah Kualitas pendidikan di
Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan
data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human
Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan,
kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks
pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia,
Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan
ke-109 (1999). Menurut
survei Political and and
Economic Risk Consultant (PERC),
pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini
dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks
Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat
pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang
menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di
antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99
(1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999). Menurut survei
Political and and Economic Risk Consultant (PERC).
Latar
Belakang Masalah
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini
sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000)
tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu
komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan
penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia
Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati
urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Menurut
survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan
di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia
berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia
(2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan
ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survei dari
lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai
pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan
di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan
mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena kesadaran
akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Permasalahan ini
disebabkan karena beberapa hal yang mendasar. Salah satunya adalah memasuki
abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun
teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran.
d.
Relevansi Pendidikan
Masalah
Relevansi, Efektifitas, Dan Relevansi Pendidikan Dalam Perspektif Manajemen
Pendidikan
A.
Peranan Pendidikan dalam Era Globalisasi
Usaha
mengembangkan kualitas sumber daya manusia menjadi semakin penting bagi setiap
bangsa dalam menghadapi era persaingan global. Tanpa sumber daya manusia yang
berkualitas, suatu bangsa pasti akan tertinggal dari bangsa lain dalam
percaturan dan persaingan kehidupan dunia internasional yang semakin
kompetitif.
Pengembangan
sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas menjadi tanggung jawab
pendidikan nasional, terutama dalam mempersiapkan peserta didik untuk menjadi
subjek yang memiliki peran penting dalam menampilkan dirinya sebagai manusia
yang tangguh, kreatif, mandiri, dan profesional pada bidangnya (Mulyasa,
2002:3). Berkenaan dengan upaya pengembangan sumber daya manusia Indonesia,
Depdiknas sebagai institusi yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan
nasional telah mengembangkan visi insan Indonesia yang cerdas dan kreatif
dan misi mewujudkan pendidikan yang mampu membangun insan Indonesia cerdas
dan kompetitif dengan adil, bermutu, dan relevan untuk kebutuhan masyarakat
global (www. ktsp.diknas.co.id/ktsp sd/ppt3). Visi dan misi tersebut
selanjutnya dijadikan kerangka acuan dalam melakukan pembaharuan sistem
pendidikan nasional.
B.
Masalah-masalah Pendidikan di Indonesia
Upaya
untuk mewujudkan visi dan misi tersebut mengalami kesulitan jika berbagai
masalah dalam proses pendidikan muncul. Masalah dapat diartikan sebagai
kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan apa yang terjadi. Jika apa yang
terjadi atau yang tercapai dalam pendidikan tidak seperti yang diharapkan maka
masalah pendidikan telah terjadi.
Masalah-masalah
pendidikan di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 4, yaitu: masalah
partisipasi/kesempatan memperoleh pendidikan, masalah efisiensi, masalah
efektivitas, dan masalah relevansi pendidikan (Redja Mudyahardjo, 2001: 496)
a.
Masalah partisipasi pendidikan
Masalah partisipasi atau kesempatan memperoleh pendidikan
adalah rasio atau perbandingan antara masukan pendidikan (raw input)
atau jumlah penduduk yang tertampung dalam satuan-satuan pendidikan. Keberadaan
masalah ini dapat diketahui dari individu-individu yang mestinya menjadi
peserta didik pada satuan pendidikan tertentu tetapi kenyataannya tidak
demikian. Misalnya saja di berbagai daerah masih banyak anak-anak yang mestinya
menjadi peserta didik pada satuan pendidikan TK tetapi belum menjadi bagian
dari satuan pendidikan tersebut. Hal demikian tentunya akan menimbulkan masalah
pada saat mereka masuk sekolah dasar. Demikian juga banyaknya individu lulusan
SMA yang tidak melanjutkan pendidikannya pada perguruan tinggi. Untuk bekerja
mereka belum memiliki bekal yang mamadai.
b.
Masalah efisiensi pendidikan
Masalah efisiensi pendidikan berkenaan dengan proses
pengubahan atau transformasi masukan produk (raw input) menjadi produk
(output). Salah satu cara menentukan mutu transformasi pendidikan adalah
mengitung besar kecilnya penghamburan pendidikian (educational wastage), dalam
arti mengitung jumlah murid/mahasiswa/peserta didik yang putus sekolah,
meng-ulang atau selesai tidak tepat waktu.
Jika peserta didik sebenarnya memiliki potensi yang
memadai tetapi mereka tidak naik kelas, putus sekolah, tidak lulus berarti ada
masalah dalam efisiensi pendidikan. Masalah efisiensi pendidikan juga terjadi
di perguruan tinggi. Masalah tersebut dapat diketahui dari adanya para
mahasiswa yang sebenarnya potensial tetapi putus kuliah dan gagal menyelesaikan
pendidikannya pada waktu yang tepat.
c.
Masalah efektivitas pendidikan
Masalah efektivitas pendidikan berkenaan dengan rasio
antara tujuan pendidian dengan dengan hasil pendidikan (output), artinya sejauh
mana tingkat kesesuaian antara apa yang diharapkan dengan apa yang dihasilkan,
baik dalam hal kuantitas maupun kualitas. Pendidikan merupakan proses yang
bersifat teleologis, yaitu diarahkan pada tujuan tertentu, yaitu berupa
kualifikasi ideal. Jika peserta didik telah menyelesaikan pendidikannya namun
belum menunjukkan kemampuan dan karakteristik sesuai dengan kualifiksi yang
diharapkan berarti adalah masalah efektivitas pendidikan.
d. Masalah
relevansi pendidikan
Masalah ini berkenaan dengan rasio antara tamatan yang
dihasilkan satuan pendidikan dengan yang diharapkan satuan pendidikan di
atasnya atau indtitusi yang membutuhkan tenaga kerja, baik secara kuantitatif
maupun secara kualitatif.
Masalah relevansi terlihat dari banyaknya lulusan dari
satuan pendidikan tertentu yang tidak siap secara kemampuan kognitif dan
teknikal untuk melanjutkan ke satuan pendidikan di atasnya. Masalah relevansi juga
dapat diketahui dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu, yaitu
sekolah kejuruan dan pendidikan tinggi yang belum atau bahkan tidak siap untuk
bekerja
C. Fakta dan Penyebab Masalah Pendidikan di Indonesia
1. Fakta adanya masalah efisiensi, efektivitas, dan
relevansi pendidikan
Dari ke empat masalah pendidikan sebagaimana disebutkan
di atas, hanya masalah partisipasi yang sekarang mengecil. Hal ini disebabkan
karena semakin meningkatnya warga masyarakat akan pentingnya pendidikan dan semakin
banyaknya satuan-satuan pendidikan yang didirikan untuk memenuhi kebutuhan akan
pendidikan. Sedangkan ketiga masalah pendidikan berikutnya, yaitu masalah
efisiensi, efektivitas, dan relevansi sampai sekarang masih terjadi dan ada
kecenderungan bahwa masalah-masalah pendidikan tersebut semakin besar. Ketiga
masalah pendidikan tersebut tidak saling terpisahkan. Masalah efiseinsi
berpeluang menimbulkan masalah efektivitas, dan selanjutnya berpeluang pula
menimbulkan masalah relevansi.
Masalah pendidikan di Indonesia merupakan masalah yang
serius. Bukti untuk hal itu dapat disimak dari peringkat Human Development
Index (HDI) yang dipantau oleh UNDP yang menunjukkan kualitas pendidikan di
Indonesia dari tahun 1996 bearada pada eringkat 102 dari 174 negara, tahun 1999
peringkat 105 dari 174 negara, dan tahun 2000 peringkat 109 dari 174 negara dan
dalam prestasi belajar yang dipantau oleh IAEA (International Association for
the Evaluation of Educational Achievement) di bidang kemampuan membaca siswa
SD, Indonesia berada pada urutan ke-26 dari 27 negara; kemampuan matematika
siswa SLTP berada di urutan 34 dari 38 negara; kemampuan bidang IPA siswa SLTP
berada pada urutan ke 32 dari 38 negara (T. Raka Joni, 2005).
2. Faktor penyebab terjadinya masalah pendidikan di
Indonesia
Masalah efisiensi pendidikan dapat terjadi karena
berbagai faktor, yaitu tenaga kependidikan, peserta didik, kurikulum, program
belajar dan pembelajaran, sarana/prasarana pendidikan, dan suasana sosial
budaya. Demikian pula masalah efektivitas pendidikan juga dapat terjadi karena
faktor tenaga kependidikan, peserta didik, kurukulum, program belajar dan
pembelajaran, serta sarana/prasarana pendidikan.
Masalah relevansi pendidikan berhubungan dengan :
tuntutan satuan pendidikan yang lebih atas yang terus meningkat dalam upaya
mencapai pendidikan yang lebih berkualitas, aspirasi dan tuntutan masyarakat
yang terus meningkat dalam upaya mencapai kehidupan yang berkualitas,
ketersediaan lapangan pekerjaan di masyarakat. Kesenjangan terjadi jika komponen-komponen
sistem pendidikan yang telah disebutkan di atas tidak mampu memenuhi tuntutan
dan aspiranya yang ada.
D. Solusi untuk Mengatasi Masalah Pendidikan di Indonesia
dari Perspektif Manajemen Pendidikan
1.
Tenaga Kependidikan sebagai figur utama proses pendidikan
Masalah
yang terjadi dalam dunia pendidikan merupakan masalah yang sangat mendesak
untuk mendapatkan pemecahan. Sebab jika masalah tersebut dibiarkan agar lahir
generasi-genarasi penerus yang yang tidak bisa diandalkan untuk menghadapi kompetisi
global. Jika hal demikian betul-betul terjadi maka bangsa Indonesia akan
semakin terpuruk.
Upaya
memecahkan masalah pendidikan hendaknya dilakukan dengan menggunakan pendekatan
sistem. Dengan pendekatan ini pendidikan dipandang sebagai suatu sistem, suatu
kesatuan yang terdiri dari berbagai komponen yang saling berhubungan untuk
mencapai suatu tujuan. Dari berbagai komponen system pendidikan, yaitu :
peserta didik (raw input), instrumental inpu,t termasuk di
dalamnya tenaga kependidkian, dan environmental input, dari perspektif
manajemen pendidikan komponen tenaga kependidikan merupakan komponen yang
penting untuk dibahas.
Sampai
sekarang dan juga untuk waktu-waktu yang akan datang figur tenaga kependidikan,
termasuk para guru, kepala sekolah, dosen, dan pimpinan perguruan tinggi
merupakan komponen yang sangat penting dalam sistem pendidikan meskipun konsep
yang dianut sekarang adalah pendidikan berpusat pada peserta didik. Fakta
menunjukkan bahwa meskipun raw input berkualitas tetapi jika ada
masalah pada tenaga kependidikan, baik secara kuantitas maupun kualitas akan
menyebabkan rendahnya kualitas output .
Kenyataan
sebagaimana tersebut di atas juga dipertegas dengan adanya fakta bahwa untuk
menilai tingkat kelayakan atau kualitas institusi pendidikan salah satu
komponen penting yang dijadikan sasaran adalah komponen tenaga kependidikan
baik dari segi kuantitas dan terutama dari segi kualitas.
2. Tenaga kependidikan sebagai
manajer pendidikan
Tenaga
kependidikan, terutama kepala sekolah atau pimpinan institusi pendidikan
merupakan manajer-manajer pendidikan. Sebagai manajer pendidikan tugas utama
mereka adalah mengupayakan agar kegiatan pendidikan dapat menghasilkan
tujuan-tujuan pendidikan secara efektif dan efisien, melalui proses yaitu
manajemen pendidikan.
Menurut
Terry (Ngalim Purwanto, 2006: 7), manajemen adalah suatu proses tertentu yang
terdiri atas perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan, yang
dilakukan untuk menentukan dan mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan
dengan menggunakan manusia dan sumber daya lainnya. Jika proses tersebut
dilakukan dalam bidang pendidikan dan untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan
maka disebut sebagai manajemen pendidikan.
Manajemen
merupakan inti dari administrasi (Ngalim Purwanto, 2006: 8). Sedangkan
administrasi pendidikan adalah proses pengerahan dan pengintegrasian segala
sesuatu, baik personil, spiritual, maupun matrial, yang bersangkuta paut dengan
pencapaian tujuan pendidikan (Ngalim Purwanto, 2006: 3). Dengan demikian setiap
tenaga kependidikan berperanan sebagai administrator. Dan sebagai administrator
dirinya harus mampu berperan sebagai manajer pendidikan.
Dari
perspektif manajemen pendidikan, masalah-masalah pendidikan dapat terjadi jika
tenaga kependidikan tidak mampu menjalankan perannya dengan baik sebagai
manajer pendidikan. Sebagai manajer pendidikan setiap tenaga kependidikan
terlebih lagi untuk setiap pemimpin institusi pendidikan harus mengembangkan
kemahiran dasar yang oleh Rex F. Harlow (Sarwoto, 1998: 47) dibedakan menjadi
tiga, yaitu :
a.
Kemahiran teknis (technical skill) yang cukup untuk melakukan upaya
dari tugas khusus yang menjadi tanggung jawabnya.
b.
Kemahiran yang bercorak kemanusiaan (human skill), yang diperlukan
untuk bekerja dengan sesamanya guna menciptakan keserasian kelompok yang
efektif dan yang mampu menumbuhkan kerja sama diantara anggota-anggota bawahan
yang dia pimpin.
c.
Kemahiran menganalisis situasi dan permasalahan dengan konsep-konsep ilmiah
yang relevan (conceptual skill), yang dapat dijadikan dasar dalam
mengambil keputusan dan bertindak secara tetap.
3. Masalah pendidikan dan kualitas
manajemen pendidikan
Dari
perspektif manajemen pendidikan, masalah pendidikan dapat terjadi jika kepala
sekolah dan juga para guru tidak mampu menjadi manajer-manajer pendidikan yang
baik. Masalah tersebut bisa saja terjadi karena : a. dirinya tidak memiliki
pengetahuan yang memadai mengenai konsep-konsep manajemen pendidikan, b.dirinya
kurang memahami konsep-konsep dasar pendidikan, dan c. dirinya tidak atau kurang
memiliki kemampuan dan karakteristik sebagai manajer pendidikan, sehingga tidak
mampu menjalankan peran sesuai dengan statusnya. Masalah kualitas manajer
pendidikan seperti itu bisa terjadi karena kesalahan dalam penempatan. Seorang
yang sebenarnya belum atau tidak siap untuk menjadi pemimpin karena faktor
tertentu dia diangkat menjadi kepala sekolah.
Masalah-masalah
pendidikan juga dapat terjadi jika para pemimpin institusi pendidikan lebih
banyak menempatkan dirinya sebagai kepala dan bukan sebagai pemimpin. Sebagai
kepala mereka bertindak sebagai penguasa, hanya bertanggung jawab pada pihak
atasan, dan melakukan tugas-tugas karena perimintaan atasan. Jika kepala
sekolah lebih banyak bertindak sebagai kepala maka dirinya akan kesulitan
memberdayakan semua personal yang ada agar tujuan pendidikan tercapai.
4. Solusi terhadap masalah pendidikan
dengan manajemen kinerja guru
Jika
masalah-masalah pendidikan disebabkan oleh faktor manajemen maka upaya yang
paling tepat untuk mencegah dan mengatasi adalah dengan meningkatkan kualitas
manajemen pendidikan. Kualitas manajemen dapat meningkat jika para
manajer-manajer pendidikan berusaha untuk meningkatkan kemampuannya.
Seringkali
terlontar pernyataan bahwa kualitas pendidikan sulit untuk ditingkatkan karena
kurangnya dukungan dana. Namun ada fakta yang menunjukkan bahwa dana yang cukup
bahkan lebih ternyata tidak berdampak pada peningkatan kualitas pendidikan. Hal
demikian dapat terjadi karena kepala sekolah tidak atau kurang mampu
memberdayakan semua sumber yang ada, khusunya sumber daya manusia. Demikian
juga halnya dengan peranan guru di sekolah sebagai manajer pendidikan, hambatan
yang terjadi adalah kurangnya kemampuan untuk memberdayakan semua sumber
belajar yang ada agar tujuan pendidikan dapat tercapai.
Untuk
mengatasi masalah di atas salah satu upaya yang dapat ditempuh adalah melalui
peningkatan manajemen kinerja kepala sekolah dan guru. Dalam perspektif manajemen, agar kinerja guru dapat
selalu ditingkatkan dan mencapai standar tertentu, maka dibutuhkan suatu
manajemen kinerja (performance management) yang baik.
e. Anggaran Pendidikan
Masih Rendah
Ada pungutan, bukti Anggaran pendidikan masih rendah
JAKARTA
-- Anggota Komisi X DPR RI, Rohmani, menilai,
anggaran pendidikan yang dialokasikan pemerintah hingga saat ini tidak sesuai
dengan kebutuhan. Hal ini disebabkan karena pemerintah tidak memiliki data
pokok pendidikan di Indonesia.
“Di dalam UU Sisdiknas memang dijelaskan minimal dana pendidikan 20 persen. Nah, pemerintah menafsirkannya 20 persen saja tanpa menghitung berapa besaran kebutuhan riilnya. Akhirnya, dana yang digelontorkan oleh pemerintah tidak tepat dan tidak sesuai kebutuhan,” ungkap Rohmani ketika ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (1/12).
Politsi dari PKS ini mengungkapkan, seharusnya pemerintah memiliki data yang valid mengenai kebutuhan anggaran pendidikan. Menurut Rohmani, besaran anggaran untuk pendidikan dasar jauh dari ideal, terutama untuk program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Buktinya, hingga saat ini pungutan sekolah masih tetap berlangsung. Sehingga masyarakat yang jadi korbannya.
“Di dalam UU Sisdiknas memang dijelaskan minimal dana pendidikan 20 persen. Nah, pemerintah menafsirkannya 20 persen saja tanpa menghitung berapa besaran kebutuhan riilnya. Akhirnya, dana yang digelontorkan oleh pemerintah tidak tepat dan tidak sesuai kebutuhan,” ungkap Rohmani ketika ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (1/12).
Politsi dari PKS ini mengungkapkan, seharusnya pemerintah memiliki data yang valid mengenai kebutuhan anggaran pendidikan. Menurut Rohmani, besaran anggaran untuk pendidikan dasar jauh dari ideal, terutama untuk program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Buktinya, hingga saat ini pungutan sekolah masih tetap berlangsung. Sehingga masyarakat yang jadi korbannya.
“Anggaran
pendidikan terus naik tapi masyarakat tidak merasakannya. Pungutan masih
dimana-mana. Artinya, dana yang dialokasikan pemerintah tidak cukup,” imbuhnya.
Meski demikian, Rohmani mengakui memang usulan anggaran pendidikan yang diajukan oleh pemerintah sudah diteken DPR, di mana prioritas anggaran tertuju pada perbaikan sekolah rusak. “Anggaran pendidikan 2012 diutamakan pada program rehabilitasi sekolah rusak,” tukasnya. Seperti diketahui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam Hari Guru Nasional (HGN), Rabu (30/11) sempat menyebut akan menaikkan anggaran pendidikan pada 2012 sejumlah Rp286,6 triliun dari sebelumnya hanya Rp Rp266,9 triliun. Anggaran itu akan digunakan untuk BOS yang harus menjangkau 31,3 juta siswa SD dan 13,4 juta siswa SMP, rehabilitasi sekolah, sertifikasi guru dan beasiswa.
Meski demikian, Rohmani mengakui memang usulan anggaran pendidikan yang diajukan oleh pemerintah sudah diteken DPR, di mana prioritas anggaran tertuju pada perbaikan sekolah rusak. “Anggaran pendidikan 2012 diutamakan pada program rehabilitasi sekolah rusak,” tukasnya. Seperti diketahui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam Hari Guru Nasional (HGN), Rabu (30/11) sempat menyebut akan menaikkan anggaran pendidikan pada 2012 sejumlah Rp286,6 triliun dari sebelumnya hanya Rp Rp266,9 triliun. Anggaran itu akan digunakan untuk BOS yang harus menjangkau 31,3 juta siswa SD dan 13,4 juta siswa SMP, rehabilitasi sekolah, sertifikasi guru dan beasiswa.
f.
Peserta Didik Banyak Tawuran
Tawuran
sepertinya sudah menjadi bagian dari budaya bangsa Indonesia. Sehingga jika
mendengar kata tawuran, sepertinya masyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi.
Hampir setiap minggu, berita itu menghiasi media massa. Bukan hanya tawuran
antar pelajar saja yang menghiasi kolom-kolom media cetak, tetapi tawuran antar
polisi dan tentara, antar polisi pamong praja dengan pedagang kaki lima,
sungguh menyedihkan. Inilah fenomena yang terjadi di masyarakat kita.
Tawuran antar pelajar maupun tawuran antar remaja semakin menjadi semenjak terciptanya geng-geng. Perilaku anarki selalu dipertontonkan di tengah-tengah masyarakat. Mereka itu sudah tidak merasa bahwa perbuatan itu sangat tidak terpuji dan bisa mengganggu ketenangan masyarakat.Sebaliknya mereka merasa bangga jika masyarakat itu takut dengan geng/kelompoknya. Seorang pelajar seharusnya tidak melakukan tindakan yang tidak terpuji seperti itu.
Biasanya
permusuhan antar sekolah dimulai dari masalah yang sangat sepele. Namun remaja
yang masih labil tingkat emosinya justru menanggapinya sebagai sebuah
tantangan. Pemicu lain biasanya dendam Dengan rasa kesetiakawanan yang tinggi
para siswa tersebut akan membalas perlakuan yang disebabkan oleh siswa sekolah
yang dianggap merugikan seorang siswa atau mencemarkan nama baik sekolah
tersebut.
Sebenarnya jika kita mau melihat
lebih dalam lagi, salah satu akar permasalahannya adalah tingkat kestressan
siswa yang tinggi dan pemahaman agama yang masih rendah. Sebagaimana kita tahu
bahwa materi pendidikan sekolah di Indonesia itu cukup berat. Akhirnya stress
yang memuncak itu mereka tumpahkan dalam bentuk yang tidak terkendali yaitu tawuran.
Dari
aspek fisik,tawuran dapat menyababkan kematian dan luka berat bagi para siswa.
Kerusakan yang parah pada kendaraan dan kaca gedung atau rumah yang terkena
lemparan batu.sedangkan aspek mentalnya , tawuran dapat menyebabkan trauma pada
para siswa yang menjadi korban, merusak mental para generasi muda, dan
menurunkan kualitas pendidikan di Indonesia. Setelah kita tahu akar
permasalahannya, sekarang
yang terpenting adalah bagaimana menemukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan
persoalan ini. Dalam hal ini, seluruh lapisan masyarakat yaitu, orang tua, guru/sekolah dan pemerintah.
Pendidikan
yang paling dasar dimulai dari rumah.Orang tua sendiri harus aktif menjaga
emosi anak. Pola mendidik juga barangkali perlu dirubah.Orang tua seharusnya
tidak mendikte anak, tetapi memberi keteladanan.Tidak mengekang anak dalam
beraktifitas yang positif. Menghindari kekerasan dalam rumah tangga sehingga
tercipta suasana rumah yang aman dan nyaman bagi tumbuh kembang si anak
Menanamkan dasar-dasar agama pada proses pendidikan. Tidak kalah penting adalah
membatasi anak melihat kekerasan yang ditayangkan Televisi. Media ini memang
paling jitu dalam proses pendidikan.Orang tua harus pandai-pandai memilih
tontonan yang positif sehingga bisa menjadi tuntunan buat anak. Untuk
membatasi tantonan untuk usia remaja memang lumayan sulit bagi orang tua.Karena
internetpun dapat diakses secara bebas dan orang tua tidak bisa membendung
perkembangan sebuah teknologi Filter yang baik buat anak adalah agama dengan
agama si anak bisa membentengi dirinya sendiri dari pengaruh buruk apapun dan
dari manapun.Dan pendidikan anak tidak seharusnya diserahkan seratus persen
pada sekolah.
Peranan sekolah juga sangat penting dalam penyelesaian masalah ini. Untuk meminimalkan tawuran antar pelajar, sekolah harus menerapkan aturan tata tertib yang lebih ketat, agar siswa/i tidak seenaknya keluyuran pada jam-jam pelajaran di luar sekolah. Yang kedua peran BK ( Bimbingan Konseling harus diaktifkan dalam rangka pembinaan mental siswa, Membatu menemukan solusi bagi siswa yang mempunyai masalah sehingga persoalan-persoalan siswa yang tadinya dapat jadi pemicu sebuah tawuran dapat dicegah. Yang ketiga mengkondisikan suasana sekolah yang ramah dan penuh kasih sayang.
Peranan sekolah juga sangat penting dalam penyelesaian masalah ini. Untuk meminimalkan tawuran antar pelajar, sekolah harus menerapkan aturan tata tertib yang lebih ketat, agar siswa/i tidak seenaknya keluyuran pada jam-jam pelajaran di luar sekolah. Yang kedua peran BK ( Bimbingan Konseling harus diaktifkan dalam rangka pembinaan mental siswa, Membatu menemukan solusi bagi siswa yang mempunyai masalah sehingga persoalan-persoalan siswa yang tadinya dapat jadi pemicu sebuah tawuran dapat dicegah. Yang ketiga mengkondisikan suasana sekolah yang ramah dan penuh kasih sayang.
Peran
guru disekolah semestinya tidak hanya mengajar tetapi menggatikan peran orang
tua mereka. Yakni mendidik.Yang keempat penyediaan fasilitas untuk menyalurkan
energi siswa. Contohnya menyediakan program ektra kurikuler bagi siswa.Pada
usia remaja energi mereka tinggi, sehingga perlu disalurkan lewat kegiatan yang
positif sehingga tidak berubah menjadi agresivitas yang merugikan.
Dalam penyelenggaraan kegiatan
ekstrakurikuler Ini sekolah membutuhkan prasarana dan sarana, seperti arena
olahraga dan perlengkapan kesenian, yang sejauh ini di banyak sekolah belum
memadai, malah cenderung kurang. Oleh karenanya, pemerintah perlu mensubsidi
lebih banyak lagi fasilitas olahraga dan seni. Dari segi hukum demikian
juga.Pemerintah harus tegas dalam menerapkan sanksii hukum Berilah efek jerah
pada siswa yang melakukan tawuran sehingga mereka akan berpikir seratus kali
jika akan melakukan tawuran lagi.Karena bagaimanapun mereka adalah aset bangsa
yang berharga dan harus terus dijaga untuk membangun bangsa ini.
Perubahan sosial yang diakibatkan
karena sering terjadinya tawuran, mengakibatkan norma-norma menjadi terabaikan.
Selain itu,menyebabkan terjadinya perubahan pada aspek hubungan social
masyarakatnya. Dalam
bukunya yang berjudul “Dinamika Masyarakat Indonesia”, Prof. Dr. Awan Mutakin,
dkk berpendapat bahwa sistem sosial yang stabil ( equilibrium ) dan
berkesinambungan ( kontinuitas ) senantiasa terpelihara apabila terdapat adanya
pengawasan melalui dua macam mekanisme sosial dalam bentuk sosialisasi dan
pengawasan sosial (kontrol sosial).
- Sosialisasi maksudnya adalah suatu
proses dimana individu mulai menerima dan menyesuaikan diri kepada adapt
istiadat ( norma ) suatu kelompok yang ada dalam sistem social , sehingga
lambat laun yang bersangkutan akan merasa menjadi bagian dari kelompok
yang bersangkutan.
- Pengawasan sosial adalah, “ proses
yang direncanakan atau tidak direncanakan yang bertujuan untuk mengajak,
mendidik atau bahkan memaksa warga masyarakat, agar mematuhi norma dan
nilai”. Pengertian tersebut dipertegas menjadi suatu pengendalian atau
pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya.
(Soekanto,1985:113).
g. Kesimpulan
Ternyata masih banyak guru yang bekerja tidak
profesional. Bahkan ada sejumlah sekolah memilih meliburkan anak didiknya demi
mengikuti rapat. Padahal guru dewasa ini telah mendapatkan gaji yang berlebih
dengan berbagai fasilitasnya. sertifikasi, kendati belum semua guru. Banyak
pihak tidak menampik banyaknya guru yang melakukan kelalaian. Bahkan dalam hal
sertifikasi, juga tidak menampik adanya permainan oknum guru demi mendapatkan
status sertifikasi. Keadaan Guru Di Indonesia Juga Amat Memprihatinkan.
Kebanyakan Guru Belum Memiliki Profesionalisme Yang Memadai Untuk Menjalankan
Tugasnya Sebagaimana Disebut Dalam Pasal 39 UU No 20/2003 Yaitu Merencanakan
Pembelajaran, Melaksanakan Pembelajaran, Menilai Hasil Pembelajaran, Melakukan
Pembimbingan, Melakukan Pelatihan, Melakukan Penelitian Dan Melakukan
Pengabdian Masyarakat.
Bukan
Itu Saja, Sebagian Guru Di Indonesia Bahkan Dinyatakan Tidak Layak Mengajar.
Persentase Guru Menurut Kelayakan Mengajar Dalam Tahun 2002-2003 Di Berbagai
Satuan Pendidikan Sbb: Untuk Sd Yang Layak Mengajar Hanya 21,07% (Negeri) Dan
28,94% (Swasta), Untuk Smp 54,12% (Negeri) Dan 60,99% (Swasta), Untuk Sma
65,29% (Negeri) Dan 64,73% (Swasta), Serta Untuk Smk Yang Layak Mengajar 55,49%
(Negeri) Dan 58,26% (Swasta).
Dalam
hal relevansi pendidikan, usaha mengembangkan kualitas sumber daya manusia
menjadi semakin penting bagi setiap bangsa dalam menghadapi era persaingan
global. Tanpa sumber daya manusia yang berkualitas, suatu bangsa pasti akan
tertinggal dari bangsa lain dalam percaturan dan persaingan kehidupan dunia
internasional yang semakin kompetitif. Pengembangan sumber daya manusia
Indonesia yang berkualitas menjadi tanggung jawab pendidikan nasional, terutama
dalam mempersiapkan peserta didik untuk menjadi subjek yang memiliki peran
penting dalam menampilkan dirinya sebagai manusia yang tangguh, kreatif,
mandiri, dan profesional pada bidangnya (Mulyasa, 2002:3). Berkenaan dengan upaya pengembangan sumber
daya manusia Indonesia, Depdiknas sebagai institusi yang bertanggung jawab
dalam bidang pendidikan nasional telah mengembangkan visi insan Indonesia
yang cerdas dan kreatif dan misi mewujudkan pendidikan yang mampu
membangun insan Indonesia cerdas dan kompetitif dengan adil, bermutu, dan
relevan untuk kebutuhan masyarakat global (www. ktsp.diknas.co.id/ktsp
sd/ppt3). Visi dan misi tersebut selanjutnya dijadikan kerangka acuan dalam
melakukan pembaharuan sistem pendidikan nasional.
Lalu
dalam anggaran pendidikan juga Indonesia dinilai masih rendah “Di dalam UU Sisdiknas memang dijelaskan
minimal dana pendidikan 20 persen. Nah, pemerintah menafsirkannya 20 persen
saja tanpa menghitung berapa besaran kebutuhan riilnya. Akhirnya, dana yang
digelontorkan oleh pemerintah tidak tepat dan tidak sesuai kebutuhan,” ungkap
Rohmani ketika ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (1/12).
Seperti diketahui Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) dalam Hari Guru Nasional (HGN), Rabu (30/11) sempat menyebut
akan menaikkan anggaran pendidikan pada 2012 sejumlah Rp286,6 triliun dari
sebelumnya hanya Rp Rp266,9 triliun. Anggaran itu akan digunakan untuk BOS yang
harus menjangkau 31,3 juta siswa SD dan 13,4 juta siswa SMP, rehabilitasi
sekolah, sertifikasi guru dan beasiswa.
Kemudian
dalam pembahasan selanjutnya yaitu Tawuran antar pelajar
maupun tawuran antar remaja semakin menjadi semenjak terciptanya geng-geng.
Perilaku anarki selalu dipertontonkan di tengah-tengah masyarakat. Mereka itu
sudah tidak merasa bahwa perbuatan itu sangat tidak terpuji dan bisa mengganggu
ketenangan masyarakat. Sebaliknya
mereka merasa bangga jika masyarakat itu takut dengan geng/kelompoknya. Seorang
pelajar seharusnya tidak melakukan tindakan yang tidak terpuji seperti itu.
Sebenarnya
jika kita mau melihat lebih dalam lagi, salah satu akar permasalahannya adalah
tingkat kestressan siswa yang tinggi dan pemahaman agama yang masih rendah.
Sebagaimana kita tahu bahwa materi pendidikan sekolah di Indonesia itu cukup
berat. Akhirnya stress yang memuncak itu mereka tumpahkan dalam bentuk yang
tidak terkendali yaitu tawuran.
h. Saran
Pendidikan di Indonesia haruslah segera di benahi
janganlah di biarkan secara terus menerus dalam keadaan terpuruk itulah tugas
penting dan wajib yang harus dilakukan oleh pemerintah kita. Pemerintah kita
banyak melakukan money politik demi keuntungan pribadi atau untuk keluarganya
sendiri. Pemerintah kita sudah tidak memperhatikan lagi masalah-masalah
kedaulatan yang ada di Indonesia ini, menelantarkan rakyat dan membiarkan
rakyatnya terbunuh dalam kemiskinan. Sudah seharusnya pemerintah ikut andil
dalam kegiatan masyarakat, jangan acuh tak acuh dan cuek saja membiarkan
tangisan dan jeritan rakyat. Banyak pengajar dari golongan PNS atau
pemerintahan yang sudah tidak mendidik anak didiknya dengan tidak benar yaitu
dengan memanfa’atkan uang dari orang tua mereka dengan sasaran kepada anak
didik atau siswa-siswanya, sungguh tidak bermartabat jikalau di Indonesia ini
sudah terjadi hal yang biasa dalam pemanfa’atan sumber daya manusia yang salah
dan tidak di tempatkan dalam tempatnya yang benar.
Banyak
petinggi-petinggi Negara ataupun pejabat yang sering terlibat kasus korupsi ini
mengakibatkan dampak di pendidikan kita menurun dan tercoreng di dunia ilmu
pendidikan. Dengan beberapa hasil dari UNESCO ataupun menurut survei Political and and
Economic Risk Consultant (PERC)
dan sebagainya, bahwa ternyata di Indonesia ini sangat minim dalam hal
pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan rakyatnya. Jadi dalam hal ini
disarankan bahwa Indonesia harus memiliki pemimpin yang benar-benar beriman dan
bertaqwa kepada Allah SWT, dan mampu mengamalkan apa yang tertera atau terdapat
dalam al-Qur’an dan hadits, bukan dalam UU pemerintahan, karena hukum buatan
manusia tidak dapat menyelenggarakan kesejahteraan di dunia maupun di akhirat
kelak untuk masyarakatnya, serta dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan
sehari-harinya sehingga dengan pemimpin yang berkarakter seperti itu akan bisa
mendidik bawahan dan rakyatnya menuju mardhatillah atau jalan yang diridhoi dan
dirahmati oleh Allah serta dapat mensejahterakan rakyatnya di dunia maupun di
akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
I just learn to be great